Instagram itu panggung sandiwara. Orang lain tidak akan pernah menampilkan keburukan dan kegagalannya di Instagram. Percayalah, orang lain akan selalu menampilkan yang terbaik, pencapaian terbaik, tempat terbaik, barang-barang terbaik, dan quote-quote yang menunjukkan bahwa kehidupannya sempurna tanpa cela. Apakah itu nyata? Bisa jadi ada, tapi saya yakin lebih banyak yang tidak. Mereka melakukan segala demi konten yang spektakuler.
Terus apa hubungannya dengan saya? Bukankah itu kehidupan orang lain dan itu tidak ada hubungannya dengan kehidupan saya? Awalnya saya pikir begitu. Namun ketika mental saya sedang down, melihat feed dan story selebgram yang kelihatannya begitu bahagia dan glamor dapat menimbulkan keresahan, iri, tidak percaya diri, dan cemas. Saya mendadak insecure ketika melihat capaian orang lain di Instagram, keren ya masih muda sudah lulus S3 dan kaya raya, sementara saya masih gini-gini aja. Jangankan S3, lha wong saya itu S1 saja belum lulus.
Di sisi lain toko-toko online yang jualan di IG berlomba menggoda dengan foto-foto produk yang aduhai dan copy-writing yang mengoyak iman. Saya yang awalnya tak tertarik, tiba-tiba begitu terobsesi dengan barang itu.
Satu hal lagi yang saya rasakan adalah saya mulai sulit fokus. Instagram menyajikan aneka visual yang menarik, tanpa narasi yang panjang, dan scroll yang tak akan pernah selesai berkat teknologi filter bubble.
Filter bubble adalah algoritma yang diciptakan untuk media sosial agar pengguna dapat menyesuaikan perilaku dan ketertarikan dengan konten di linimasa sehingga kita akan disuguhi informasi yang terkait dengan apa yang biasa kita klik atau cari.
Misalnya saya sedang tertarik tentang MacBook, maka IG akan terus menyodorkan konten-konten yang sejenis. Tak terasa kita telah menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk scroll dan scroll. Waktu yang seharusnya bisa kita gunakan untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat, malah habis untuk melakukan hal-hal tidak memberikan manfaat.
Detoks Digital
Akhirnya saya memutuskan untuk detoks digital. Saya mulai unfollow akun IG yang tidak memberikan manfaat bagi saya. Banyak akun IG yang dibuat hanya untuk hiburan, shitpost, bahkan provokasi. Akun-akun itu tidak akan meningkatkan kualitas pribadi dan tidak menambah wawasan.
Selain akun IG yang saya follow, saya juga membersihkan follower. Saya pastikan orang yang mem-follow saya adalah orang yang saya kenal. Akun-akun yang mem-follow saya juga saya cek apakah akun itu masih aktif atau tidak, jika ternyata upload di feed terakhir 2 tahun yang lalu dan tak pernah membuat story, akun tersebut segera saya hapus dari list meskipun akun itu belum tentu inaktif.
Ada orang yang memang menerapkan puasa media sosial, ada juga akun yang dibuat hanya untuk stalking akun IG orang lain. Jika alasan tidak posting karena ia puasa media sosial, sungguh saya dapat memahami dan menghargainya. Namun jika akun itu dibuat untuk stalking saja, menurut saya hal itu tidak fair, ayolah kita saling bercerita. Apa untungnya buat saya kalau kita saling follow tapi anda menyembunyikan segalanya.
Setelah beberapa minggu saya bersih-bersih IG, dampak yang saya rasakan cukup signifikan, waktu yang saya habiskan untuk bermain IG berkurang, saya lebih produktif, dan yang paling penting hati dan pikiran saya lebih tenang.
Oh iya, sejak 5 tahun yang lalu saya juga telah berhenti menonton televisi dan membaca koran. Salah satu alasannya adalah banyaknya acara tidak bermutu dan berita negatif yang tidak memberikan manfaat apapun bagi saya.
Jika Anda tertarik untuk mencoba untuk detoks digital, Anda bisa mencoba dari hal-hal kecil, misal unfollow akun-akun selebgram, berita, dan shitpost.
It works.
Image credit : rawpixel.com
Leave a Reply