Sejak dulu saya adalah orang yang selalu mencoba menilai karakter orang dari cara berbicara, tatapan mata, gerak gerik, pilihan pakaian, bahkan cara dia memakai jam tangan. Sehingga kadang saya langsung punya prasangka buruk pada beberapa orang yang baru saya temui. Ah si A ini orangnya grusa grusu, keras kepala, tidak rapi. Kemudian si B orangnya kalem, serba teratur, tidak banyak bicara. Dari penilaian ini saya menentukan sikap saya ketika berhubungan dengan mereka saya harus bagaimana.
Apa yang saya lakukan ini tidak lepas dari pengalaman saya di masa lalu ketika jaman SMA saya harus mengurusi Peleton Inti maupun Paskibraka, dan setelah kerja saya harus mengurus tim saya di kantor. Kedua pengalaman tersebut mengharuskan saya untuk dapat mengidentifikasi karakter orang seakurat mungkin karena saya harus berbagi tugas dengannya. Saya tak mungkin menunjuk orang sebagai bendahara kalau ia bukan orang yang rapi, jujur, dan teliti. Saya juga tak akan menunjuk seseorang menjadi ketua tim kecil jika orang itu tak punya leadership yang bagus dan punya banyak inisiatif. Saya penganut mahzab “Leader is Born, not Made”. Apa jadinya kalau jabatan-jabatan seperti itu jatuh kepada orang yang salah?
Don’t Judge A Book by It’s Cover
Hingga suatu hari saya tiba-tiba merasa takut, jangan-jangan saya salah. Kalau orang jahat kemudian saya nilai baik, mungkin tidak masalah, toh kadang itu juga yang ia inginkan. Tapi betapa berdosanya saya, ketika orang yang baik tetapi saya nilai buruk hanya dari pakaiannya, gerak geriknya, caranya bicara. Bisa jadi memang dulunya ia seperti apa yang saya pikirkan dan saat ini ia telah berubah menjadi sosok yang jauh lebih baik, bahkan mungkin level kemuliaannya jauh di atas saya. Setiap orang selalu memiliki kesempatan untuk berubah, termasuk saya.
Bulan Februari lalu saya pindah tugas, saya membuka lembaran baru lagi untuk kesekian kalinya, ini mutasi saya yang ke-6. Di dinding ruangan saya yang baru ada poster bertuliskan POSITIVE VIBES. Poster tersebut dibuat oleh salah satu rekan saya satu ruangan.
Baiklah, ini sepertinya waktu yang tepat bagi saya untuk memulai lagi semuanya dari awal, bertemu dengan orang-orang baru, POSITIVE THINKING pada semua hal baru termasuk orang-orang yang baru saya kenal. Bayangan saya, positive vibes akan menjadi kenyataan, semua akan berjalan baik karena semua orang itu pada dasarnya baik.
Di sisi lain saya juga sedang mencoba menumbuhkan kembali motivasi kerja yang agak menurun gara-gara pindah ke Bali. Saya tak sampai hati mau bilang demotivasi, meskipun sebenarnya demikian yang terjadi.
Satu bulan berlalu, saya masih baik-baik saja. “Namanya juga tempat baru, butuh adaptasi”, pikir saya.
Masuk bulan kedua, kesabaran saya habis sudah. Saya kumpulkan tim saya, mari buat daftar dengan judul TOXIC PEOPLE IN THIS OFFICE. Saya tak mau berprasangka, saya mau dengar langsung cerita dari tim saya, sisanya saya yang akan profiling sendiri. Toh tim saya sudah saya profiling selama dua bulan ini, saya yakin apa yang mereka katakan dapat dipercaya.
Kesimpulan saya, positive thinking, positive vibes itu kondisi ideal yang diharapkan. Toxic people itu nyata, ada di sekitar kita, dimanapun kita berada. Profiling orang-orang di sekitar adalah ikhtiar kita untuk mengurangi dampak buruk dari adanya toxic people itu. Profiling tidak hanya sekedar mencari sisi buruk seseorang, tapi juga sisi baiknya. Dengan profiling yang dalam, kita dapat menentukan sikap kita sejak awal, menempatkannya di tempat yang tepat, bahkan ketika toxic itu sudah menyebabkan kanker harus segera dibinasakan. Kalau tidak bisa dibina, ya dibinasakan. Bukankah begitu?
Human capital is the most important asset.
FOTO : twenty20.com/
Leave a Reply